POLITIK ISLAM
Oleh
Adi Gunawan
MI 10A/2010 33 0078
A.PENDAHULUAN
Makalah ini berisi pembahasan tentang Politik Islam. Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “warga NU”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?
B.PEMBAHASAN
1. PengertianPolitik Islam
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Rasulullah saw bersabda:“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
2. Prinsip Dasar Politik Islam
Prinsip-Prinsip Politik Yang Islami
(1) Tujuan hakiki pengamalan politik Islami adalah penghambaan (ibadah) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Terjun ke dunia politik bukan untuk mencari kekuasaan, jabatan, harta-benda, peluang proyek, atau popularitas sebagaimana yang banyak dianut oleh para politisi. Tujuan utama kita adalah mengabdi kepada Allah. (Adz Dzariyaat: 56).
(2) Hakikat pengamalan politik Islami adalah menunaikan amar makruf nahi munkar. (Ali Imran: 104). Gerakan politik yang tidak mengemban misi amar makruf nahi munkar tidak disebut gerakan Islami, meskipun ia adalah partai Islam, berazas Islam, dan selalu mengangkat simbol-simbol Islam.
(3) Fokus utama politik Islami ialah pelaksanaan Syariat Islam. Jika kondisi memungkinkan kita perlu menerapkan Syariat Islam secara formal sebagai UU Negara. Jika tidak memungkinkan, kita bisa memperjuangkan pelaksanaan nilai-nilai (substansi) Syariat Islam itu. (An Nisaa’: 58)
(4) Dasar pertimbangan yang menjadi acuan politik Islami adalah kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin. Acuannya bukan demokrasi, pemikiran politik Amerika, hasil pooling, opini media massa, statement politik, dll. Seideal apapun teori politik, jika akibatnya adalah kesengsaraan Ummat, ia tidak bisa diklaim sebagai politik Islami. (An Nahl: 90).
(5) Politik Islami menghargai prestasi kebaikan yang dilakukan oleh siapapun di jaman kapanpun. Politik Islam tidak membabi-buta, atau dikendalikan oleh dendam kesumat. Siapapun yang berbuat baik, layak dihargai. Dalam Al Qur’an, “Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna, sedangkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia akan tetap lestari di bumi.” (Ar Ra’du: 17). Ada sebuah prinsip Islami yang sangat penting, yaitu: Al muhafazhah bil qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara yang baik-baik dari masa lalu, dan mengambil yang terbaik dari masa kini). Setiap kebaikan adalah nikmat Allah, maka sikap kita mensyukurinya, bukan menghancurkannya.
(6) Menghukumi berbagai kenyataan politik, baik berupa tindakan pribadi, kelompok, pernyataan, peristiwa-peristiwa, manuver, dan sebagainya secara adil. Tidak menjerumuskan diri ke dalam kezhaliman, terhadap kawan maupun lawan, baik dalam urusan kecil maupun besar. Dalam Al Qur’an, “Berbuat adillah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.” (Al Hujuraat: 9).
(7) Mendukung kepemimpinan Islami yang berpedoman kepada Syariat Islam, atau kepemimpinan yang shalih dan taqwa kepada Allah, atau kepemimpinan yang berpihak kepada Islam dan kaum Muslimin. Kita tidak boleh mengambil pemimpin orang-orang yang memusuhi Islam. (An Nisaa’: 144).
Prinsip-prinsip seperti di atas sangat penting sebagai koridor dalam menunaikan politik Islami. Jika prinsip-prinsip itu diterapkan secara konsisten, tentu kaum Muslimin tidak akan penderitaan lahir-batin seperti saat ini. Betapa banyak politisi-politisi karbitan bermunculan, bahkan yang “bermerek” partai Islam sekalipun. Padahal mereka hanya memiliki sedikit wawasan logika politik, bahkan minus ilmu pengetahuan Islam. Dengan modal seperti itu sangat sulit berharap akan lahir keberkahan dari kancah praktik politik.
.
3. Bentuk Sistem Pemerintahan Dalam Islam
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya,pemikiran, pemahaman, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara tadi, maupun hal-hal yang menjadikannya beda sama sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia.
A. Pemerintahan Islam Bukan Monarchi
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem monarchi.Kalau sistem monarchi, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat dengan penuh ridla dan bebas memilih.
B. Pemerintahan Islam Bukan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan di tangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata. Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah.
Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara' semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka bai'at untuk menjadi wakil mereka.
C. Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan-- tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat --apapun madzhabnya-- yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim.
Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.
D. Pemerintahan Islam Bukan Federasi
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kaero. Harta kekayaan seluruh wilayah negera Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan
secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.
Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.
Disamping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat.
4. Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam ada yang dikenal dengan istilah Syura atau musyawarah. Yang merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’ mempunyai beberapa makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan mencari kebenaran.
Dan secara terminologis, syura bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” (Nizhamul-Hukmi Fil-Islam, Dr. ‘Arif Khalil, hal. 236)
Meminta pendapat dan mencari kebenaran adalah salah satu prinsip dalam demokrasi yang dianut sebagian besar bangsa di dunia. Didalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan.
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-syura: 36)
Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Syari’at Islam yang lapang ini telah memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi). Ayat itu memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan adab syura sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ‘ain yang tidaklah Islam sempurna dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.
Hal tersebut menunjukan bahwa, Islam secara langsung menerapkan prinsip pengambilan keputusan;musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi modern (dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat).
Yang menjadi poin penting dalam demokrasi bukan sistem trias politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif), melainkan sisitem checks and balances yang berlangsung dalam pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan maka, harus ada keterbukaan dari masing-masing elemen dalam pemerintahan itu. Dan keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk musyawarah yang efisien, efektif dan egaliter. Tentu saja tujuan adalah kesejahteraan rakyat.
C. PENUTUP
Dari pembahasan atas menunjukkan bahwa Politik Islam adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai/prinsip Islam, baik dari titik tolak (starting point),program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda dengan politik non Islam. Jika politik konvensional bisa menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dll.
Semoga dengan makalah ini bisa memberikan informasi yang jelas tentang materi yang saya buat.Dan dalam pembuatan makalah sederhana ini, penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca merupakan modal utama saya untuk meraih tangga kesuksesan
Akhirnya tiada kata yang paling indah kecuali puji syukur alkhamdulillah pada pemilik kasih sayang sempurna atas berjuta nikmat yang tercurah dan kita rasakan sampai saat ini Mungkin hanya ini saja yang bisa saya angkat dari Politik Islam.Semoga materi ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Akhirnya tiada kata yang paling indah kecuali puji syukur alkhamdulillah pada pemilik kasih sayang sempurna atas berjuta nikmat yang tercurah dan kita rasakan sampai saat ini Mungkin hanya ini saja yang bisa saya angkat dari Politik Islam.Semoga materi ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
D. Daftar pustaka
Gunawan.2 mei 2007.”Bentuk Pemerintahan Islam”. http://www.mail archive.com/media- dakwah@yahoogroups.com/msg12181.html
Tomy.06 januari 2006. “Definisi Politik Dalam Perspektif Islam ”. http://tomysmile.wordpress.com/2006/01/05/definisi-politik-dalam-perspektif-islam/
Tafani.07 desember 2010 .”Politik Islam ala PLS” .http://tafany.wordpress.com/2007/12/17/politik-islam-ala-pls/
http://blog.sunan-ampel.ac.id/dickyaja/2010/04/23/demokrasi-dalam-pandangan-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar